Dr. Amruddin AE, S.Pt., M.Pd., M.Si.
Ketua DPW BKPRMI Sulsel
Dosen Unismuh Makassar
BKPRMISULSEL.ID | OPINI – Siapapun keluarga pastilah merindukan dan mencita-citakan anaknya menjadi anak shaleh. Ketika lahir dari rahim ibunya, anggota keluarga menyambut bayi mungil itu dengan senyum kebahagiaan. Hanya anak yang menangis, bertanda awal mula kelahirannya di dunia. Bisa jadi tangisan itu juga wujud pesimisme akan masa depannya kelak.
Bukan optimisme yang muncul hakekatnya karena zaman jahiliyah modern mengancam anak-anak kita. Perubahan drastis dan dahsyat tidak mungkin dielakkan karena perubahan itu adalah sunnatullah. Dahulu sebelum datangnya Islam dikenal sebagai zaman jahiliyah. Bukan karena masyarakat buta huruf, tidak melek teknologi dan maju peradabannya sehingga mereka disebut jahiliyah. Tetapi karena aqidahnya rusak, membantah syariat yang dibawa Nabi-Nabi sebelumnya. Umar Bin Khattab ketika tersibghah oleh Islam, sering menangis dan tertawa sendiri mengingat-ingat perilakunya sewaktu masih jahiliyah. Bayangkan saja, Umar rela mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Kali waktu dia tertawa, ketika Tuhannya yang terbuat dari roti, dimakan sedikit demi sedikit karena kelaparan dalam perjalanan.
Di zaman high tech meminjam istilah BJ Habibie, saat ini jahiliyah tidak pantang surut malah mengadakan reinkarnasi menjadi jahiliyah modern. Jamak kita baca tentang bayi yang ditemukan di tong sampah atau di selokan. Akibat perbuatan tak bertanggung jawab kedua orang tuanya ataukah perilaku seksual diluar nikah, anak yang suci tanpa dosa menjadi korban. Manusia menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan. Dengan mudah kapitalisme mendarah daging dalam kehidupan masyarakat hingga saling relasi didalamnya tidak luput dari nilai-nilai materialisme. Di kamar-kamar kita napas westernisasi menjadi etalase tak terpisahkan. Pemujaan berlebihan terhadap barat menjadi kuda tunggangan şekularisasi dalam kehidupan kita.
Jahiliyah hakikinya menolak berhukum sesuai tuntunan Allah dan RasulNya. Bagaimanapun keberhasilan peradaban dinilai secara fisik dan kasat mata, tetap saja menawarkan fatamorgana, kepalsuan. Rasa-rasanya sangat pantas ketika anak menjadi amanah Allah dan asset keluarga, masyarakat, dan negeri ini. Kegagalan manhaj ideologi terdahulu membangun jiwa dan raga anak-anak kita, mencetak anak shaleh patut menjadi renungan.
Salah seorang figur anak shaleh dalam Al-Quran adalah Nabi Ismail. Ismail kecil membuktikan ketaatannya kepada Allah dan orangtuanya ketika menerima perintah untuk disembelih. Secara logika dan akal sehat, dapat kita katakan mengapa bukan Ibrahim -orangtua Ismail- saja yang disembelih, toch Dia sudah udzur dan Ismail adalah buah hati yang sekian lama dinantikannya. Tapi Ismail menjawab perintah itu dengan sami na wa’athona “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar” (QS.37:102). Maka terkabullah doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shaleh” (QS.37:100).
Banyak pula kisah sahabat yang mempraktekkan kesalehan selama hidupnya. diantaranya, Abdul Malik bin Umar bin Abdul Azis, la adalah seorang pemuda yang berwibawa, dan piawai dalam kepemimpinannya. la patut diteladani dalam hal keilmuan, keberanian, kezuhudan dan ibadah kendati wafat pada usia muda yakni usia 19 tahun. Lalu siapakah yang berada dibelakangnya ? Berada dibelakangnya adalah seorang ayah yang zuhud, yaitu Umar bin Abdul Azis dan seorang ibu bernama Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan.
Sabda Nabi “Setiap anak dilahirkan fitrahnya, orangtuanyalah yang menjadikan dia nasrani, yahudi atau majusi”. Orangtua adalah arsitektur” masa depan seorang anak sedangkan institusi keluarga menjadi tempat pembelajaran pertama dan utama. Orangtua dianggap gagal menata serta membangun ketika anaknya terjerumus nakal bahkan kriminal dan terbiasa berbuat dosa. Ingatlah cerita kolosal Maling Kundang si Anak Durhaka. Dan kasus seorang anak di Malang yang nekad membunuh ibunya karena stress. Dihadapan penyidik anak itu mengaku melakukan perbuatan tersebut agar supaya ibunya cepat masuk surga (Sidik TPI, 20/7/2004). Kriminalitas di jaman jahiliyah modern memang tidak pandang bulu lagi, anak bisa tega membunuh orangtuanya, anakpun berani menzinai ibu sendiri. Begitupula sebaliknya. Seorang bapak tega membunuh anaknya, hanya karena curiga isterinya berselingkuh. Bapakpun karena kepicut setan dibawah pengaruh minuman keras menzinai darah dagingnya sendiri (Media Indonesia, 8/7/04) Naudzu billahi min dzalik.
Entah ada apa di negeri ini sehingga pernikahan dipersulit tetapi mudah sekali yang namanya perceraian. Padahal dalam Islam dianjurkan mempermudah pernikahan dan mempersulit perceraian. Muhammad Al-Hamd menguraikan beberapa kiat membantu kita mendidik anak antara lain, pertama, dimulai dengan memberikan perhatian dalam memilihkan calon isteri yang shalehah. Isteri itu merupakan ibu anak-anak dan mereka bakal tumbuh berdasarkan akhlak dan watak yang dimiliki seorang ibu. Dinikahi perempuan karena empat perkara, yaitu cantiknya, hartanya, keturunan, dan keimanannya. Maka skala prioritas, pilihlah keimanan supaya selamat dunia dan akherat. Banyak kejadian perkawinan dipercepat karena satu perkara, namanya MBA atau married by accident. Kedua, memohon kepada Allah diberikan keturunan yang shaleh. Ini merupakan amalan para Nabi, Rasul, dan hamba-hamba Allah yang shaleh. Seperti dicontohkan oleh Nabi Ibrahim sebelumnya. Ketiga, meminta pertolongan kepada Allah dalam mendidik anak. Keempat, memberi nama dengan nama-nama yang baik. Kelima, menanamkan keimanan dan aqidah yang benar dalam diri anak.
Beberapa ahli, diantaranya William J. Goode dan Robert Coles, memandang fungsi sosialisasi dan kontrol sosial penting untuk memaksimalkan peran anggota keluarga sebelum terjun di tengah-tengah masyarakat. Di keluargalah sejatinya seorang anak belajar tentang nilai-nilai, benar atau salah, pertama kali.
Kejadian kriminal yang frekwensinya meningkat berdasarkan deret ukur tidak bisa divonis semata-mata karena disfungsionalnya keluarga. Anak ternyata lebih banyak menerima “cekokan” abnormalitas, benturan nilai dan norma dari agen sosialisasi atau belajar yang lain. Dari lingkungan bermain atau peer group serta media massa dan akhir-akhirnya ini bernama gadget. Dalam interaksi sosialnya sehari hari anak mengalami proses imitasi dan identifikasi.
Imitasi dalam pola kehidupan adalah suatu tingkah laku yang mengidentifikasikan atau menyamakan dirinya dengan tokoh yang dikagumi dan favorit. Pola imitasi cenderung memasukkan tingkah laku, hobi, sifat ataupun kegemaran si tokoh tersebut kedalam dirinya. Identifikasi berjalan lebih dalam dari sekedar imitasi. Pola imitasi ini sangat berbahaya mengingat yang dijadikan idola adalah para tokoh yang amoral. Banyak perilaku artis dalam berpakaian atau bertingkah laku dijadikan idola atau ditiru oleh anak-anak kita. Sosok herois seperti spiderman, saras 008, dan serentetan tokoh fiktif lainnya mudah sekali mewabah dikalangan anak-anak.
TV berjasa besar mendorong westernisasi ini, maka terasa lumrah ketika acara lomba tenar dan kuis TV mengadopsi acara yang sama di Barat. Muncullah AFI Junior dan lain-lain. Iklan TV juga mengajarkan kebohongan publik, semisal 7 keajaiban dunia dan 7 benua (?). Padahal kita belum selesai dengan tayangan kekerasan, pornografi dan mistik karena Pemerintah dan DPR setengah hati untuk mensahkan UU.
Kita tidak bisa mengabaikan disfungsi agama. Itu terjadi ketika agama dinisbahkan kepada pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan semata, padahal Islam adalah way of life. Belumlah proporsional hanya dengan mengharap besar pada muatan kurikulum agama di sekolah, katanya mencetak anak yang menguasai IPTEK sekaligus IMTAQ. Di Masjid anak belajar baca tulis Al-Quran dan adab-adab Islami supaya menjadi anak shaleh tetapi kita juga harap-harap cemas dan khawatir mereka akan tereleminasi oleh kekuatan thogut modernisasi.